Wednesday, August 24, 2011

Tuntunan Makan Sahur

     Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Perbadaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim). Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani)
     Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadis Anas dari Zaid bin Tsabit radhiyallhu ‘anhu, ia berkata, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttaqun ‘alaih) Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat menjelang adzan Shubuh adalah tidak tepat karena dalam ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama) maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih) Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.

Adab Berbuka Puasa

     Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan, “Para sahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbukanya dan yang paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menshahihkan sanadnya) Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun diwaktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)
     Buka puasa dilakukan dalam keadaan mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan cara lainnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
     Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sahl bin Sa’ad radhiyallhu ‘anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban) Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radhiayallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Puasa dan Pembaruan Manusia

     Inti dari ibadah puasa Ramadhan yang kita laksanakan adalah pengendalian diri dari berbagai hal dan perilaku yang dapat membatalkan puasa maupun menghapuskan pahala puasa, dengan harapan diakhir Ramadhan kita dapat meraih derajat orang bertaqwa dan kembali menjdi fitri. Tentunya nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa juga dapat dilaksanakan dengan konsisten pada bulan-bulan berikutnya. Inilah makna puasa yang sesungguhnya.
     Dalam konteks ini, ibadah puasa merupakan cara melakukan pembaruan, baik mental, jasmani, maupun rohani yang dapat dilaksanakan oleh pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa secara kolektif. Pembaruan mental yang dimaksud adalah tumbuhnya mental-mental pejuang yang dapat mengalahkan berbagai macam rintangan dan godaan. Orang yang berpuasa dengan benar, misalnya, akan menahan lapar dan dahaganya, meskipun ia memiliki kesempatan untuk membatalkannya ketika tidak ada orang yang melihat. Namun berpuasa mengajarkan manusia untuk jujur kepada dirinya dan menyadari betapa Allah mengawasinya. Karenanya Allah mengatakan dalam hadis qudsi, “Sesungguhnya puasa seorang anak Adam adalah untuk-Ku. Dan  Aku yang akan memberikan balasannya.”

Manusia Baru Pasca Ramadhan

     Esensi Ramadhan bukan sekedar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, dan sanak saudara lainnya. Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal lebih bermakna. Betapa indahnya jika “manusia baru” yang lahir pasca Ramadhan itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu syarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya.
     “Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi dan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. “Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga “manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses liminalitas itu. Para “manusia baru” dari kalangan ibu-ibu kian arif menjaga mulut agar para suami tidak terjebak banalisasi korupsi. Para “manusia baru” yang ibu-ibu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip.

Ramadhan Melahirkan Manusia Baru

     Bulan Ramadhan selama ini dikenal sebagai bulan peningkatan ibadah (syahrul ibadah). Artinya, mereka yang menjalankan ibadah puasa dan rangkaian ibadah lain selama bulan suci Ramadhan diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Berbagai janji ‘bonus’ telah tebarkan untuk hambanya-Nya yang menjalankan ibadah selama bulan suci ini, namun kita tahu tidak semua dapat meraih ‘bonus’ itu bahkan banyak yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali rasa lapar saja, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya, kecuali hanya tidak tidur malam saja.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
     Sabda Rasulullah ini menyiratkan makna, betapa banyak mereka yang telah menjalankan ibadah puasa namun tidak mampu memahami hakekat sesungguhnya ibadah puasa. Mereka menahan lapar dan dahaga tetapi tidak menangkap roh sejati dari perintah untuk lapar dan dahaga itu. Padahal Allah dengan tegas telah menyatakan bahwa tujuan akhir dari pelaksanaan puasa ibadah puasa adalah meraih derajat ketaqwaan. “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Qs. Al-Baqarah: 183).

Friday, August 19, 2011

Menggapai Lailatul Qadar

     Pada akhir sepuluh Ramadhan biasanya kaum muslimin hiruk pikuk dengan persiapan lebaran. Hal ini yang biasanya membuat ibadah kita sering terabaikan. Padahal diwaktu itu Allah memerintahkan kita semakin giat beribadah karena pada malam harinya diturunkan malam yang sangat istimewa, yaitu Lailatul Qadar.
     Lailatul Qadar adalah salah satu dari malam-malam bulan Ramadhan yang disebutkan dalam dua surat Al-Quran. Dalam surat Ad-Dukhan Allah menyifatkannya dengan malam yang mendatangkan keberkahan (lailah mubarakah) yang di dalamnya diselesaikan segala urusan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) di malam yang penuh keberkahan. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang memberi peringatan. Di dalamnya diselesaikan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhan 3-6).
     Dalam surat Al-Qadar Allah menyifatinya dengan sifat yang mulia, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malaikat turun di dalamnya. Dan malam itu merupakan salam (kesejahteraan) bagi umat manusia. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Malam Kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan. Malam Kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadar 1-5).

Thursday, August 11, 2011

Nasehat Untuk Pedagang

     Diantara kenikmatan Allah yang dilimpahkan kepada hamba-hambannya adalah Dia menghalalkan dan membolehkan bagi mereka jual beli dan mengharamkan riba. “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-Baqarah:275) Oleh karena itu dalam sejarah islam profesi sebagai pedagang menjadi jalan hidup bagi banyak sahabat, bahkan Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang. Dan sudah seharusnya pedagang muslim juga meneladani Rasulullah ketika berdagang , mencontoh Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ustman bin ‘Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan lain-lain ketika berbisnis. Diantara teladan yang mereka contohkan adalah:

Keutamaan Silaturahmi

     Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya, dan perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Silaturahmi merupakan kebutuhan yang dituntut fitrah manusia, karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan wujud dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.
     Allah telah menyeru hamba-Nya berkaitan dengan menyambung silaturahmi dalam 19 ayat di dalam kitab-Nya yang mulia. Salah satunya, “Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs. An Nissa’ 4:1) Sebaliknya Allah memperingatkan orang yang memutuskan silaturahim dengan laknat dan adzab, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka, dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Qs. Muhammad:22-23). Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bersabda, “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”

Sabar Dalam Ketaatan

     “Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Robbnya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, secara tersembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapatkan tempat kesudahan (yang baik).” (Qs. Ar-Ra’d:19-22).
     Ibnu Qayim dalam kitab Idatush Shabirin menyatakan, sabar dalam ketaqwaan mencakup seluruh kedudukan (Maqam) islam dan iman. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan perintah untuk bersabar dalam menghadapi takdir Allah dan sabar dalam meninggalkan larangan Allah. Allah telah menyampaikan tiga perkara ini dalam firmanNya, “Jika kamu bersabar dan bertaqwa.” (Qs. Ali Imran:186). Dan, “Sesungguhnya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar.” (Qs. Yusuf:90). Serta, “Hai, orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkan kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Qs. Ali Imran:200).

Ruh Ibadah

     Muhammad AL-Ghazali dalam bukunya ‘Akhlak Seorang Muslim’ menyatakan, meskipun ibadah-ibadah yang diperintahkan ajaran islam sangat bervariasi cara dan bentuknya, namun ibadah-ibadah tersebut memiliki ruh dan nafas yang sama. Yakni terbentuknya akhlak yang mulia dalam kehidupan seorang muslim. Akhlak mulia itu tercermin terutama setelah yang bersangkutan melakukan kegiatan-kegiatan ibadah tersebut.
     Seorang muslim yang shalatnya khusuk, disamping ketika melaksanakannya tepat dan benar, juga setelah shalat tersebut berusaha menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Yaitu, perbuatan yang merusak diri, keluarga, dan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman, “Bacakan apa yang telah diwayuhkan kepadamu, yaitu Alkitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain).

Monday, August 8, 2011

Menjadikan Ramadhan Lebih Bermakna

     Ramadhan merupakan bulan penuh berkah. Umat islam hendaknya mengambil keberkahan Ramadhan dengan melakukan berbagai aktifitas positif yang bernilai ibadah. Berikut ini panduan ringkas untuk lebih memaknai kehadiran bulan suci Ramadhan.
     Merencanakan Peningkatan Prestasi Ibadah (Syahrul Ibadah). Kualitas ibadah Ramadhan dari tahun ke tahun harus meningkat. Tahun depan harus lebih baik dari tahun ini, dan tahun ini harus lebih baik dari tahun lalu. Ibadah yang kita lakukan harus dapat mengubah dan memberikan arti positif.  Perubahan bukan hanya untuk diri pribadi, namun juga mencakup perubahan keluarga, masyarakat bahkan bangsa. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS AR-Ra'du:11).

Monday, August 1, 2011

Menggali Manfaat Puasa

     Salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya yaitu menghadirkan bulan Ramadhan sebagai bulan yang memiliki nuansa ibadah dan ketaatan.
     Pada bulan ini, setiap muslim yang telah dewasa (akil balig), waras, mampu, merdeka dan tidak dalam safar berkewajiban melakukan puasa. Puasa yaitu menahan lapar dan haus serta hal-hal lain yang dapat membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Orang yang melanggar aturan tersebut, puasanya batal dan wajib menggantinya di hari lain.
    Allah menjadikan ibadah ini  sebagai media bagi setiap orang beriman untuk meraih kesempurnaan. Islam telah menjelaskan bahwa berpuasa yang dilakukan dengan baik membawa seseorang pada kesempurnaan yang di atasnya tidak ada kesempurnaan lain. Ini karena Allah memberi pintu khusus dengan nama istimewa yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang memiliki kesempurnaan.

Adab di Bulan Puasa

      Puasa merupakan ibadah termulia dan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena ibadah itu untuk Allah, dan Dialah yang menilainya. Ibadah ini dikatakan dapat menghapus dosa apabila dilakukan dengan cara yang disyariatkan dan sesuai dengan adab - adabnya. Orang yang berpuasa dianjurkan memperhatikan adab - adab puasa dengan baik. Diantara adab berpuasa itu adalah :
  1. Niat yang baik dan benar. Bahwasanya wajib bagi seseorang muslim untuk berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharaap pahala kepada Allah semata bukan karena riya', sum'ah, taqlid kepada manusia, mengikuti keluarganya atau penduduk negrinya.